Kamis, 09 Agustus 2012

Sebuah Perenungan



untuk kawan yang berlelah hati

Jam sebelas malam
Berdentang sesuai kewajiban
Memperolokku dan waktuku
juga hidup dan perasaanku
Hasratku menggarami semangkuk luka
Mempertaukan aku kepada kebukan-aku-anku
Jam sebelas malam,
Dentangnya menyatu dalam erangan hewan malam
Apakah kita tahu, mereka sedang pesta pora
Atau berduka, karena sesamanya mati pagi tadi
terinjak ban bulat yang menggilas tol waktu
Aku tidak tahu, apa mereka menggunjingkan kaumku
Karena naluri hewannya meruncing hari-hari ini


Jam setengah dua belas malam,
berdentang halus, larut dalam anganku
Sadarlah aku bahwa tiap langkahku
menghantarku ke sebuah persimpangan baru
Selalu baru, entah dimana nanti ujungnya
Saat mata jadi lebar pupilnya
dan mungkin tangan ini akan merentangkan jemarinya
Karena aku ingin bertahan dan berjuang


Jam dua belas malam
Garam dalam semangkuk luka menguap
di dinding-dindingnya dia mengendap

Jam dua belas malam
garamnya menyerabut di lukaku
mengakar dan membuat epitel baru

Purbalingga, 8 Agustus 2012

Minggu, 05 Agustus 2012

Sebungkus Nasi Kucing

Mungkin terlalu dini aku rasakan
Karena sebelum maghrib dikumandangkan
lewat gumpalan awan keputihan
Kawan, aku jatuh lagi
Digelitik masa silam yang harusnya kutinggalkan
Karena kawan,
kita sama-sama sedang berjuang
memacu waktu beradu nasib
Karena mungkin suatu hari nanti
kita akan memperebutkan sebuah kursi
Dan saat itu mungkin kita akan sama
Diingatkan pada hutang budi
Mungkin selembar permadani alam yang kita rebahi bersama
Sehamparan galaksi yang kita sanjung bersama
Uluran dan dorongan saat kita sama-sama hilang arah
Juga sepotong coklat pahit
dan setetes madu energi
Kita bagi bersama, saat dingin dan kabut beradu dalam darah
Dan ingatkah kamu
Kita pernah menikmati sebungkus nasi kucing
pemberian teman baik hati
untuk membungkam cacing-cacing dalam lambung
pada suatu malam di bawah bayangan pohon
dan seringaian sabit


(Bobotsari, 3 Agustus 2012)


Aku Benci Aturanmu

Milik siapakah aku?
Hatiku kau punyai,
dan nuraniku mau kau beli?
Dengan kasih sayang dan cintamu
Atau pemenuhan materi
Sayang, menggiurkan juga kursi yang kau promosikan
Hanya uang dan cintamu
Perhatian yang kadang mengikatku
Takkan menaliku
Karena aku dan nuraniku hidup,
berdenyut menjalar bersama akar
Biara kau tarik dan dekap aku
tapi aku bukan kloninganmu
yang dengan patuhnya akan membeokan
semua ucap dari bibirmu
Aku bukan penari robotik
yang dengan ikhlas akan menggayakan imajinasimu
Biar aku kau sebut durhaka
Atau nakal, atau kurang ajar
Aku memang tidak tahu diri
Maka itu, biar aku cari
jati diriku dulu
Biar nanti kamu tahu siapa aku




Romantisme Bulan Pegunungan


(Bobotsari, 1 Agustus 2012)


Malam ini kita bisa keluar
Memandangi bulan kemuning kebulatan
di atas ketinggian
Malam ini kita bisa berbagi kehangatan
Lewat segelas susu, derakan ranting terbakar, dan duduk yang berdekatan
Di bawah langit
berselimut bintang dan permadani neon kekuningan
Malam ini kita bisa bersyukur
Akan hawa dingin
dan kabut yang Tuhan luputkan
Malam ini kita dapat melebur bersama
dalam satu rasa dan tujuan yang sama
menyatukan hati dalam doa
agar Yang Kuasa menjaga sanak saudara di bawah sana
dan mengawasi langkah kita
Agar malam ini kehangatan persahabatan kita menang,
dan menjadi persenjataan kala surya esok menjelang
agar jadi perjuangan dan impian terwujudkan
Tapi malam ini adalah malam
yang kita pilih sendiri, bukan untuk menjadi malam “kita”
Dimana aku duduk merindukan langit
yang dulu menyaksikan kebersatuan kita
Dimana aku sendirian mencari sesuatu dalam hatimu,
yang sama ada dalam hatiku

Well then, Romantisme Bulan Pegunungan ditulis karena sebuah khayalan manis, angan-angan penulis supaya bisa pergi malam itu sama seseorang yang dimaksud, mendaki gunung bareng. Soalnya malam itu indah, bulannya nyaris purnama, banyak bintang. Di bawah aja indah, apalagi kalau dilihat dari ketinggian sana? Tapi sayangnya, semua cuma angan-angan belaka, karena nyatanya si penulis nggak kemana-mana, dia cuma duduk sendirian, liatin langit yang indah, dan keinget sama masa-masa indah, dan diam-diam dia bertanya-tanya, apa orang yang disebut di puisi itu juga lagi kangen sama masa-masa perjuangan dulu

Rabu, 06 Juni 2012

Reinkarnasi

Waktu penyesalanku
dibuang sia-sia
di pinggir-pinggir jalan sepi
di dalam selokan-selokan pinggir jalan
Sungguh aku
masih ingin menjadi burung,
masih ingin seindah angsa
masih ingin miliki elok angkasa
Tuhan,
jangan hukum hamba jadi larva,
dalam liang penantian metamorfosa
Toh hamba sudah lihat dunia, Tuhan
Oh indah dan megah
Hamba ingin di sini
Sampai setahun lagi
biar hamba perbaiki
waktu penyesalanku,
Wahai Tuhan yang baik hati


Puisi ini ditulis sehabis tes penjaskes tadi siang..emang nggak nyambung sih, dari pendidikan olahraga dan kesehatan jadi bikin puisi bertema galau kaya gitu. Sebenernya, inti dari cerita itu tuh kaya ada rasa penyesalan si penulis yang cukup dalem. Dia terlalu lena sama masa-masa keemasannya, sampe dia nggak nyadar kalo ternyata dia sudah buang waktunya secara sia-sia. Dia takut hukuman ato karma itu bakal dateng(digambarkan bahwa dulunya penulis itu burung, dan mau dikutuk jadi larva :D), jadi dia mohon supaya Tuhan ngasih kesempatan buat memperbaiki semuanya.

antologi pusi

Gatau kenapa buat beberapa orang bikin pusis itu susah, tapi Puji Tuhan banget aku engga dikasih kesulitan itu :)
Nulis puisi lebih nyenengin daripada belajar matematika(yah, asal ada yang perlu dibahas di pusis itu sih)
Anyway, dalam keadaan apa pun di hidup kamu, selalu ada topik dan selalu ada kata kunci buat bikin sebuah judul puisi. Semoga blog ini bisa bantu kita-kita buat mengantologikan sebuah puisi(yg sori masih ecek-ecek banget).
Happy reading :)